Para eksportir kopi boleh
bernapas lega. Sebab, melalui Kementerian Perdagangan (Kemdag),
pemerintah memberi kelonggaran persyaratan ekspor kopi yang mulai
berlaku sejak 3 Mei 2011 lalu. Kelonggaran ekspor itu tertuang dalam Peraturan
Menteri Perdagangan (Permendag) No. 10 tahun 2011, tentang Ketentuan
Ekspor Kopi. Beleid baru ini merevisi Permendag No. 41 tahun 2009. Salah satu kelonggaran yang diatur dalam beleid
itu adalah eksportir tidak perlu lagi melampirkan bukti setor
pembayaran iuran anggota Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) untuk
mendapatkan izin ekspor. "Jangan sampai eksportir tidak bisa ekspor
hanya gara-gara tidak membayar iuran ke asosiasi," kata Deddy Shaleh,
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemdag kepada KONTAN, Jumat
(6/5).
Deddy menjelaskan, tujuan merevisi aturan itu
untuk mendukung persaingan yang sehat dalam perdagangan kopi.
Menurutnya, pembayaran iuran anggota AEKI itu sepenuhnya urusan internal
asosiasi. "Itu bukan urusan pemerintah," tegasnya.
Dalam aturan lama, izin ekspor baru bisa
diperoleh jika eksportir melampirkan bukti tanda setor iuran AEKI
sebesar Rp 30 per kilogram (kg). Semakin banyak volume ekspor, semakin
besar nilai setoran kepada AEKI. Perubahan lain dalam dalam beleid baru itu
adalah perubahan pada mekanisme pelaporan realisasi ekspor kopi kepada
pemerintah. Dalam aturan lama, eksportir kopi wajib mengirim laporan
realisasi ekspor kopi ke kantor Kementerian Perdagangan. Tapi, dalam
aturan yang baru, eksportir cukup melaporkan realisasi ekspor kopi
tersebut secara online.
Perubahan kebijakan ekspor kopi tersebut
mendapat sambutan baik dari Sabam Malau, Ketua Forum Kopi Sumatera Utara
(FKSU). Ia mengisahkan, banyak pengusaha kopi di Sumatra Utara
terganjal untuk ekspor karena tidak memiliki bukti setor pembayaran
iuran wajib anggota AEKI. "Kalau kebijakan itu dihapus, tentu kendala
kami mengekspor bisa berkurang," kata Sabam
AEKI tidak ikut bahas Kelonggaran persyaratan ekspor juga memberikan
jalan bagi petani kopi untuk mengekspor langsung, tanpa harus melalui
pedagang. Selama ini, menurut Sabam, petani tidak memiliki akses
langsung ke pembeli di luar negeri. "Ketentuan ini akan memberikan
kesempatan lebih besar bagi petani menjadi eksportir," ungkapnya.
Penerbitan perubahan aturan ekspor kopi
tersebut tentu mengundang tanda tanya dari AEKI. Sebab, dalam pembuatan
aturan baru tersebut, AEKI cukup berkepentingan lantaran ada penghapusan
klausul wajib memberi iuran kepada AEKI.
Saat dihubungi KONTAN, Rachim Kartabrata,
Sekretaris Eksekutif AEKI, mengaku tidak pernah diajak membahas revisi
aturan ekspor kopi itu. "Kami sama sekali tidak tahu dan belum bisa
memberikan komentar," katanya.
Tapi, tak semua eksportir di bawah AEKI
bereaksi negatif. Suherman Harsono, mantan pengurus AEKI di Provinsi
Lampung, mengatakan, penghapusan salah satu persyaratan ekspor kopi
justru bisa memperlancar arus ekspor.
Menurut Suherman, selama ini proses perizinan ekspor kopi panjang dan
mempersulit eksportir. Termasuk juga dengan kewajiban melampirkan bukti
setor iuran anggota dari AEKI. "Jika ada persyaratan ekspor yang
dihapus, tentu akan mempermudah proses ekspor," katanya. |